BOJONEGORO - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Komisaris Jenderal
Polisi Mathius D. Fakhiri, secara tegas mengimbau aparat penegak hukum untuk
tidak lagi menangkap pengguna narkotika, melainkan mengarahkan mereka kepada
proses rehabilitasi. Pernyataan ini mendapatkan dukungan dari kalangan
akademisi, salah satunya dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro
(Unigoro), H. Didiek Wahju Indarta, S.H., S.P-1, yang menilai bahwa pendekatan
pemidanaan terhadap pengguna narkoba belum memberikan efek jera secara
substansial dan tidak menyelesaikan akar permasalahan ketergantungan.
Dalam wawancara yang dilakukan pada Rabu, (23/7/25).
Didiek menegaskan bahwa pengguna narkotika semestinya dipandang sebagai korban
yang membutuhkan intervensi medis dan psikologis, bukan sebagai pelaku
kejahatan yang layak dikenakan sanksi pidana. Menurutnya, pendekatan represif
melalui penahanan sering kali tidak efektif, bahkan kontraproduktif, karena
tidak menghentikan perilaku adiktif.
“Pemidanaan terhadap pengguna narkotika terbukti belum
sepenuhnya efektif dalam menciptakan efek jera. Sebaiknya mereka direhabilitasi
agar dapat terbebas dari ketergantungan. Kita bisa belajar dari kasus publik
figur seperti Fariz RM yang tetap kembali mengonsumsi narkoba meskipun sudah
pernah dipidana,” tuturnya.
Selanjutnya, Didiek menjelaskan bahwa pengguna narkotika
memiliki potensi untuk menjadi bagian dari jaringan peredaran gelap apabila
tidak ditangani secara tepat. Oleh karena itu, ia menyarankan adanya penanganan
menyeluruh dan terstruktur, yang melibatkan program rehabilitasi terpadu serta
edukasi kepada masyarakat mengenai dampak buruk narkotika dari sisi medis,
sosial, maupun ekonomi.
“Pengguna adalah korban yang rentan. Tanpa penanganan
komprehensif, mereka tidak hanya akan kembali menjadi pengguna, tetapi juga
bisa berkembang menjadi pengedar. Di sinilah peran rehabilitasi dan edukasi
sangat penting,” imbuhnya.
Terkait aspek hukum, Didiek menggarisbawahi adanya
ketidaksesuaian antara pendekatan humanistik yang diusung dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai Januari 2026,
dan ketentuan yang masih berlaku dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Dalam KUHP yang baru, pengguna narkotika tidak lagi dikriminalisasi,
melainkan diwajibkan mengikuti rehabilitasi medis dan sosial. Namun, pasal 112
dalam UU Narkotika masih mengancam penyalahguna dengan pidana penjara minimal
empat tahun dan denda hingga Rp8 miliar.
“Ini perlu disinkronkan agar aparat tidak ragu dalam
menerapkan pendekatan rehabilitatif. Regulasi harus mendukung paradigma baru
dalam menangani penyalahgunaan narkoba,” jelasnya.
Pria yang juga berprofesi sebagai notaris ini mengajak
seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum,
akademisi, hingga tokoh masyarakat, untuk bersinergi dalam memutus mata rantai
peredaran narkoba, khususnya di Kabupaten Bojonegoro. Beliau menyoroti masih
tingginya angka kasus narkotika di daerah tersebut, di mana Polres Bojonegoro
mencatat sedikitnya 17 kasus narkoba yang ditangani selama bulan April hingga
Mei 2025.
“Kami berharap melalui pendekatan kolaboratif dan
edukatif, angka penyalahgunaan narkotika di Bojonegoro dapat ditekan secara
signifikan. Harapan kita tentu saja nihil kasus di masa mendatang,” pungkas
Didiek.
Sudah saatnya paradigma penegakan hukum terhadap
penyalahgunaan narkotika bergeser dari pendekatan represif menuju pendekatan
rehabilitatif yang lebih manusiawi dan solutif. Jika tidak, kita hanya akan
menciptakan lingkaran setan ketergantungan dan kriminalisasi yang berulang
tanpa penyelesaian akar masalahnya. (din/ily)