BOJONEGORO - Industri tembakau
di Kabupaten Bojonegoro terus menunjukkan pertumbuhan, dengan total 36
perusahaan yang bergerak di sektor pengolahan tembakau dan rokok hingga
pertengahan tahun 2025, berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja
(Disnaker) Bojonegoro. Meskipun kontribusi industri ini cukup besar terhadap
perekonomian daerah, terutama dalam menyerap tenaga kerja lokal, potensi
pencemaran lingkungan akibat limbah produksi menjadi perhatian serius kalangan
akademisi.
Kepala
Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro (Unigoro), Oktavianus
Cahya Anggara, ST., M.Sc., menyampaikan bahwa salah satu bentuk limbah utama
dari aktivitas industri tembakau adalah emisi gas buang yang mengandung senyawa
berbahaya seperti nitrogen oksida (NOx) dan sulfur dioksida (SO₂). “Gas-gas ini
apabila terlepas dalam jumlah tinggi ke atmosfer dapat menyebabkan penurunan
kualitas udara ambien. Pengukuran dengan alat detektor akan menunjukkan apakah
kadar pencemar telah melebihi baku mutu. Jika itu terjadi, perusahaan harus
segera menurunkan tingkat emisinya,” tuturnya pada Senin (23/6/25).
Oktavianus
menjelaskan bahwa masalah bau tidak sedap yang sering dikeluhkan warga sekitar
pabrik bersifat subjektif. Hal ini karena tingkat sensitivitas indra penciuman
manusia bervariasi. Namun demikian, beliau menegaskan bahwa aspek ini tetap
perlu diperhatikan oleh industri, terlebih jika lokasinya berdekatan dengan
kawasan pemukiman atau fasilitas pendidikan.
Kondisi
tersebut menjadi nyata pada kasus PT Sata Tec Indonesia, sebuah pabrik
pengolahan tembakau yang beroperasi di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas.
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pada 13 Juni 2025 mengambil langkah tegas
dengan menghentikan sementara aktivitas perusahaan tersebut karena belum
melengkapi dokumen perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Penghentian ini dipicu oleh laporan masyarakat yang mengeluhkan bau menyengat
dari proses produksi.
Menurut
Oktavianus, perusahaan seharusnya telah mengantongi dokumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), disertai Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sebelum operasional dimulai. Ketiga dokumen
tersebut menjadi dasar legal dan teknis dalam menjamin bahwa aktivitas industri
dilakukan tanpa mengganggu ekosistem sekitar. “RKL berfungsi sebagai instrumen
bagi pemilik usaha dalam menangani limbah, sedangkan RPL menjadi acuan dalam
mengevaluasi dan memantau seluruh aktivitas agar sesuai dengan prinsip
keberlanjutan,” jelasnya.
Beliau
juga menekankan perlunya keterlibatan tenaga ahli lingkungan di setiap industri
tembakau. Tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan sarjana lingkungan
(S.Ling) sangat dibutuhkan karena memiliki kompetensi dalam merancang strategi
pengelolaan dan mitigasi dampak lingkungan secara komprehensif. “Mereka
memiliki kapasitas untuk memastikan bahwa semua residu industri tetap di bawah
ambang batas aman yang telah ditetapkan pemerintah,” tegasnya.
Program
Studi Ilmu Lingkungan di Unigoro secara aktif mencetak lulusan yang mampu
mengambil peran sebagai petugas High Conservation Value (HCV) dan Social Impact
(SI) Officer. Para lulusan tersebut telah dibekali dengan pemahaman mendalam
mengenai baku mutu lingkungan, peraturan teknis pengelolaan limbah, serta
keterampilan dalam pengawasan pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan
demikian, mereka siap menjadi penanggung jawab dalam penerapan praktik industri
yang ramah lingkungan. (Din/Ily)