Bukan Sekadar Label: Ayam Widuran Tuai Kritik, Dosen Hukum Unigoro Ungkap Bahaya Pelanggaran Merek


Banner Post

BOJONEGORO- Polemik terkait label non halal yang tercantum pada produk Ayam Widuran Solo turut mendapat sorotan dari kalangan akademisi, khususnya dalam bidang hukum kekayaan intelektual. Dosen Hukum Universitas Bojonegoro (Unigoro), Asri Elies Alamanda, S.H., M.H., menjelaskan bahwa penggunaan label pada suatu produk tidak hanya menyangkut aspek visual semata, tetapi juga merupakan bagian integral dari sistem perlindungan hukum atas merek dan hak konsumen.

“Ruang lingkup hukum kekayaan intelektual sangat luas. Namun, apabila difokuskan pada merek dagang dan label produk, maka hal ini mencakup aspek-aspek seperti pendaftaran, penggunaan, perlindungan hukum, serta penegakan hak atas merek tersebut” tuturnya pada selasa,(27/5/25)

Menurut beliau, label produk memiliki fungsi utama sebagai identitas visual yang membedakan suatu produk dengan produk sejenis lainnya. Oleh karena itu, segala informasi yang tercantum dalam label, termasuk status kehalalan produk, harus disampaikan secara jujur, akurat, dan tidak menyesatkan.

“Jika informasi yang dicantumkan, seperti non halal sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan bertujuan memberikan kejelasan kepada konsumen, maka hal tersebut dapat dibenarkan secara hukum. Namun sebaliknya, apabila label digunakan dengan itikad tidak baik atau untuk menyesatkan konsumen, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar dalam hukum merek dagang,” jelasnya.

Selanjutnya, Asri memaparkan bahwa proses pendaftaran merek dan label produk harus mengikuti ketentuan yang berlaku, dimulai dari pengecekan merek di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), hingga pemenuhan persyaratan administratif, termasuk izin edar dan sertifikasi dari lembaga yang berwenang seperti BPOM atau MUI.

Terkait konsekuensi hukum, beliau menegaskan bahwa penggunaan label yang tidak sah atau menyesatkan dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan mengenai label atau iklan menyesatkan dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana. Berdasarkan Pasal 62 ayat (1), sanksi tersebut dapat berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal dua miliar rupiah,” ungkapnya.

Asri juga mengingatkan bahwa konsumen yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi, baik secara langsung kepada pelaku usaha maupun melalui lembaga perlindungan konsumen yang tersedia.

Beliau juga mengimbau para pelaku UMKM dan pengusaha untuk senantiasa menjunjung tinggi kejujuran serta mematuhi ketentuan hukum dalam menjalankan usaha. Label produk, menurutnya, bukan sekadar alat informasi, melainkan wujud tanggung jawab moral dan hukum kepada konsumen. Oleh karena itu, setiap label harus disusun secara akurat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan memperoleh persetujuan dari lembaga yang berwenang. (Ily)